Selasa, 31 Januari 2012

Press Release IJABI Menyikapi Pernyataan Menteri Agama bahwa "Syiah bukan Islam"

oleh Emilia R Az pada 26 Januari 2012 pukul 19:51


Pengurus Pusat Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia  menyesalkan dengan sangat pernyataan Menteri Agama, pada 25 Januari 2012, dengan alasan-alasan berikut:

Pernyataan ini dikeluarkan ketika  negara Kesatuan Repulik Indonesia  terancam karena ulah sekelompok orang yang mengatas-namakan perbedaan paham dalam agama untuk menyalakan permusuhan di antara  kelompok umat beragama.   Pernyataan  itu, yang dikeluarkan oleh pejabat yang seharusnya melindungi semua kelompok agama, telah menaburkan bensin di atas bara yang mulai bernyala.

Menteri Agama merujuk kepada Surat Edaran Menteri Agama no D/BA.014865/1983  pada zaman Orde Baru. Surat Edaran ini telah batal demi  hukum, karena ia bertentangan dengan  Konstitusi RI , UUD 1945, Bab XI, Pasal 29.  Untuk itu, ia dapat digugat/dituntut secara hukum melalui mekanisme peraturan yang berlaku.

Menteri Agama juga mengacu kepada rekomendasi Rapat  Kerja Nasional Majlis Ulama Indonesia pada 7 Maret 1984, juga pada zaman Orde Baru.  Rekomendasi itu tidak menyatakan Syiah sesat atau bukan Islam.  Ia hanya menganjurkan umat Islam Indonesia untuk waspada.  Pada tanggal 1 Januari 2012, salah seorang Ketua MUI, Prof. Dr. Umar  Shihab, menyatakan MUI  berprinsip bahwa Syiah tidak sesat  dan “mengimbau umat Islam tidak terpecah belah dan menjaga ukhuwah islamiah serta tidak melakukan tindak kekerasan terhadap golongan berbeda”

Mengapa Menag mengacu kepada rekomendasi rakernas yang sudah kedaluwarsa dan mengabaikan pernyataan MUI yang mutakhir?

Pada saat yang sama, Menteri Agama sekali lagi merujuk kepada dokumen yang berasal 180 bulan  yang lalu dan  menyebut Surat Resmi Ketua PBNU, 14 Oktober 1997.  Mengapa Menag  mengabaikan pernyataan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, dua minggu yang lalu, bulan ini, 4 Januari 2012.  “Syiah masih bagian dari ajaran Islam, bagian dari Al Firaq Al Islamiyyah, dan NU tidak gampang memberikan stigma sesat pada aliran lain," tegas Kiai Said di Jakarta, Rabu (4/1).

Kiai Said juga mengatakan, NU tidak gampang memberikan stigma sesat pada suatu aliran juga mengacu pada dasar pendirian NU oleh KH. Hasyim Asyari, yaitu ukhuwah Islamiyah, Wathaniyyah dan Insaniyyah. "(Penilaian) Ini juga sesuai dengan sikap NU yang setia mengawal UUD 1945, tepatnya pasal dua puluh sembilan," tandasnya. (Jakarta, NU Online, 4 Januari).

Pada 3-4 April 2007, Presiden, Pemerintah dan Rakyat Republik Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah menyelenggarakan Konferensi Internasional Pemimpin Islam untuk Rekonsiliasi Irak dan melahirkan Deklarasi Bogor.  Walaupun konferensi itu dimaksudkan secara khusus sebagai kontribusi rakyat Indonesia  bagi rekonsiliasi Sunnah-Syiah di Iraq, Deklarasi Bogor juga menyampaikan secara umum pesan-pesan perdamaian bagi Sunnah-Syiah di seluruh dunia.  Di bawah ini dikutip bagian awal dari Deklarasi Bogor:

Mengingat upaya-upaya untuk meningkatkan saling menghormati keyakinan dan kepercayaan satu sama lain, arti penting penyelesaian konflik secara damai, dialog intra dan antariman, peran pemimpin agama dalam membangun perdamaian, transformasi konflik dan pendidikan perdamaian melalui penyelenggaraan pertemuan-pertemuan berikut ini; International Conference of Islamic Scholars di Jakarta, 23-25 Februari 2004; International Dialogue on Interfaith Cooperation yang di selenggarakan di Yogyakarta, Indonesia, pada 6-7 Desember 2004; International Islamic Conference di Amman, Kerajaan Yordania pada 4 – 6 Juli 2005; East Asia Religious Leaders Forum (EARLF), Jakarta, 11-13 Februari 2006; World Peace Forum (WPF), Jakarta, 14-16 Agustus 2006; Makkah Al-Mukarramah Declaration yang di adopsi pada 19 Oktober 2006; dan Doha Conference for Dialogue of Islamic Schools of Thought Februari 2007;

Memuji Presiden, Pemerintah dan Rakyat Republik Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah karena telah menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Pemimpin Islam untuk Rekonsiliasi Irak;

Dengan ini kami menyatakan hal-hal sebagai berikut:

1. Mendesak seluruh kaum Muslim, yang mengakui keyakinan mereka dengan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, untuk menjunjung prinsip-prinsip fundamental tersebut, yang berlaku sama bagi kaum Syiah maupun Sunni sebagai suatu landasan kesamaan bahwa setiap perbedaan keyakinan adalah semata-mata perbedaan pendapat dan penafsiran serta bukan merupakan perbedaan keyakinan yang mendasar atau menyangkut substansi Rukun Islam;

2. Izinkan kami bertanya, mengapa Menag lebih memerhatikan Majelis Mujahidin yang bersifat lokal, dan sektarian  ketimbang mengapresiasi konferensi-konferensi internasional yang menjunjung nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil ‘Alamin.

3. Dengan hormat kami memohon Menag untuk memfasilitasi dialog di antara Sunnah dan Syiah untuk membangun suasana saling memahami, bukan saling menghakimi, saling menghormati bukan saling memaki. Dengan demikian, Menag akan meninggalkan kenangan indah (lisaana shidqin)  bagi kaum muslim khususnya dan umat beragama pada umumnya.

Jakarta, 26 Januari 2012

Ketua Dewan Syura
Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia


Dr K.H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc.

Jumat, 20 Januari 2012

BIDADARI ITU PEREMPUAN SHOLIHAH

BY: Jalaluddin Rakhmat

“Benarkah hadis yang mengatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka itu perempuan?” tanya seorang murid kepada Imam Ja’far. Fakih besar abad kedua hijrah itu tersenyum. “Tidakkah anda membaca ayat Al-Qur’an – Sesungguhnya Kami menciptakan mereka sebenar-benarnya; Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta dan berusia sebaya (QS 56:36-37). Ayat ini berkenaan dengan para bidadari, yang Allah ciptakan dari perempuan yang saleh. Di surga lebih banyak bidadari daripada laki-laki mukmin.” Secara tidak langsung, Imam Ja’far menunjukkan bahwa hadis itu tidak benar, bahwa kebanyakan penghuni surga justru perempuan.

Hadis yang ‘mendiskreditkan’ perempuan ternyata sudah masyhur sejak abad kedua hijrah. Tetapi sejak itu juga sudah ada ahli agama yang menolaknya. Dari Imam Ja’far inilah berkembang mazhab Ja’fari, yang menetapkan bahwa akikah harus sama baik buat laki-laki maupun perempuan. Pada mazhab-mazhab yang lain, untuk anak laki-laki disembelih dua ekor domba, untuk anak perempuan seekor saja. Mengingat sejarahnya, mazhab Ja’fari lebih tua, karena itu lebih dekat dengan masa Nabi daripada mazhab lainnya. Boleh jadi, hadis-hadis yang memojokkan perempuan itu baru muncul kemudian: sebagai produk budaya yang sangat maskulin?

Sabtu, 07 Januari 2012

TAHLIL AYATULLAH HUSSEIN FADLULLAH

Oleh KH. Jalaluddin Rakhmat

Saya pertama kali bertemu dengan Sayyid Muhammad Hussein Fadlullah pada tahun 1985. Pada waktu itu kami berkumpul di betzah Imam Khomeini ra bersama para wakil umat Islam seluruh dunia di bawah jembatan di magdad. Tidak jauh dari tempat itu terdapat makam Sayyidah Khadijah ra dan makam umum Bani Hasyim. Beliau berbicara dengan bahasa arab yang fasih, dalam arti menggunakan kalimat – kalimat yang sederhana namun terdengar indah. Saya terpaku dan terpesona memandang wajahnya hingga terbersit dalam hati mungkin wajah Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib kw tampak seperti beliau. Begitu memancarkan kesejukan sekaligus kewibawaan. Dan beberapa kalimat Sayyid Hussein Fadlullah waktu itu masih saya ingat hingga sekarang. Seperti “Sekiranya tidak ada rasa damai bagi Islam dan kaum muslimin, maka jangan biarkan juga ada rasa damai bagi selain Islam.” Beliau juga berkata, “Kepada musuh – musuh yang tidak memberikan rasa tenteram kepada kaum muslimin. Guncangkan bumi dibawah telapak kaki mereka.”

Selasa, 03 Januari 2012

Agama dan Kekerasan

Penulis : Prof DR KH Jalaluddin Rakhmat, M.Sc *)
"Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama," tulis Sam Harris, yang bersama Daniel Dennett dan Richard Dawkins dikenal sebagai the Unholy Trinity of Atheism.

"Agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi -masih kata Harris dalam The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason - "karena agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu".

Romo Magnis pernah mengatakan kepadaku bahwa orang menjadi ateis lebih banyak bukan karena pemikiran filsafat atau sains. Mereka menjadi ateis karena tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut agama. Mereka melihat kontradiksi antara apa yang dikhotbahkan dengan apa yang dilakukan.