Sabtu, 03 Desember 2011

JEJAK-JEJAK PAHLAWAN KARBALA

 Ali Ashgar

 
Salah satu poin yang paling penting dalam gerakan kebangkitan Imam Husein dan pengikutnya di karbala adalah spirit syahadah. Pengikut Imam Husein satu-persatu terutama di malam Asyura menyatakan kesetiaannya mendukung perjuangan Imam Husein dalam menjemput kesyahidan. Semua itu menunjukkan bahwa kesyahidan di jalan Allah adalah cita-cita yang menghunjam dalam diri mereka. Imam Husein dan pengikutnya melepaskan ketergantungan dunia dengan memilih kehidupan abadi di jalan ilahi.

Allah Swt dalam berbagai ayat al-Quran mengingatkan mengenai keutamaan syahadah. Misalnya dalam surat at-taubah ayat 111, Allah berfirman "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar."

Dalam budaya Islam, syahadah memiliki nilai yang sangat tinggi, bahkan menjadi cita-cita para aulia Allah. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda, "Di atas Kebaikan ada kebaikan lainnya. Namun tidak ada kebaikan yang lebih tinggi dari syahid di jalan Allah." (Bihar al-Anwar jilid 97 hal.10)

Dalam sebuah hadis lain, Rasulullah menyatakan bahwa syahadah merupakan kematian terbaik dan tertinggi. Setiap tetesan darah syuhada di hadapan Allah lebih utama dan bernilai. Syuhada adalah orang yang paling pertama masuk surga, dan semua orang merasa iri dengan kedudukan tinggi mereka. Sebab penyebutan  syahadah karena para malaikat rahmat hadir di arena jihad dan mereka menyaksikan orang yang mati di jalan Allah dan menyebutnya syahid.

Demikian pula Allah Swt dan Rasulullah Saw bersaksi bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah adalah ahli surga. Dengan kata lain, orang-orang yang meninggal di jalan Allah disebut syahid karena pada hakikatnya mereka hidup dan tidak mati. Terkait hal ini Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 154 berfirman,"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya."

Syahid di jalan Allah merupakan kehormatan dan kebanggaan bagi pelakunya. Karena dengan kematiannya akan memicu percikan kebangkitan. Dengan demikian, Imam Husein as lebih memilih mati syahid dari pada hidup dengan kehinaan. Karena kesyahidan di jalan Allah memberikan kesadaran dan pengaruh bagi kehidupan.

Sayidah Zainab dalam khutbahnya di hadapan Yazid mengungkapkan kebanggaan syahadah di jalan Allah, dan menyebut syahid sebagai akhir kehidupan. Imam Sajjad di hadapan Ibn Ziyad berkata, "Syahadah adalah kebanggaan kami, apakah kalian masih akan menakuti kami dengan kematian?"

Syahadah merupakan kebanggaan bahkan bagi bayi yang masih menyusui sekalipun. Ali Ashgar adalah pengikut Imam Husein as yang paling muda. Beliau syahid demi membela kebenaran yang dikibarkan Imam Husein di padang Karbala, dan pesan-pesannya tetap abadi hingga kini.

Imam Husein as memasuki medan laga. Tidak ada lagi yang tersisa. Abbas syahid dengan mengenaskan. Begitu pula dengan Ali Akbar dan Qasim. Semua pengikut Imam Husein gugur syahid. Kuda tunggangan perang pun tiada. Musuh semakin congkak. Imam Husein berkata, "Siapa lagi akan akan menjadi pendukungku menolong agama Allah? Apakah masih ada orang membela ajaran Rasulullah?

Namun telinga para pengikut yazid telah terkunci dan mata mereka telah buta atas hakikat kebenaran yang dikumandangkan Imam Husein. Ketika itu terdengar suara tangisan dari dalam kemah. Ali Asghar yang masih bayi menjawab seruan ayahnya. Kemudian Imam Husein kembali berteriak, "Siapakah yang siap menjadi pengikutku?" ketika itu pula terdengar tangisan dari arah kemah. Putra termuda Imam Husein memenuhi panggilan ayahnya. Kemudian Imam Husein memanggil saudarinya Sayidah Zainab, seraya berkata, "Saudariku bawa Ali Ashgar ke sini!"

Imam Husein meraih bayi itu lalu menciuminya, sambil berucap, "Alangkah celakanya kaum ini sejak mereka dimusuhi oleh kakekmu." Bayi bernama Ali Asghar itu beliau bawa ke depan barisan pasukan musuh dan memperlihatkannya kepada musuh untuk menguji adakah mereka masih menyisakan jiwa dan perasaan mereka sebagai manusia. Imam Husein berdoa, "Ya Allah, hanya inilah yang tertinggal dariku, dan jiwanyapun rela aku korbankan di jalan-Mu"

Beliau lalu menatap ke arah musuh di depannya itu. Bayi berusia enam bulan beliau junjung sambil berseru: "Hai para pengikut keluarga Abu Sufyan, jika kalian menganggapku sebagai pendosa, lantas dosa apakah yang diperbuat oleh bayi ini sehingga setetes airpun tidak kalian berikan untuknya yang sedang mengerang kehausan."

Sungguh biadab, tak seorangpun di antara manusia iblis itu yang tersentuh oleh kata-kata Imam Husein. Yang terjadi justru keganasan yang tak mengenal sama sekali rasa kasih sayang dan nilai-nilai kemanusiaan.

Tangisan Ali Asghar terus memuncak. Ia seperti tahu penderitaan yang dialami ayahnya sendiri. Namun tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menangis. Dalam kondisi mengenaskan itu, tiba-tiba Umar Saad pimpinan komando musuh mengarahkan pandangannya kepada pasukannya.

Ketika itu, seseorang bernama Harmalah bin Kahil Al-Asadi menarik anak panah dan membidikannya menuju Ali Asghar. Melihat ulah serdadu musuh itu, Imam Husein berteriak, "Jika kamu tidak mengasihaniku, setidaknya kasihanilah bayi ini." Namun perkataan Imam Husein itu tidak memengaruhi Harmalah. Bahkan ia mengarahkan anak panah menuju Ali Ashgar.

Tanpa komando, benda yang ujungnya runcing itu melesat ke arah bayi Ali Asghar. Tidak berapa lama bayi malang itu menggelepar di atas telapak Imam Husein yang tak menduga akan mendapat serangan sesadis itu, sehingga tak sempat berkelit atau melindunginya dengan cara apapun. Beliau tak dapat berbuat sesuatu hingga bayi itu diam tak berkutik setelah anak panah itu menebus lehernya. Ali Akbar telah menemui ajalnya dalam kondisi yang mengenaskan. Darah segar mengucur dari lehernya hingga menggenangi telapak tangan ayahnya.

Dengan hati yang tersayat-sayat, beliau melangkah kembali ke arah perkemahan. Beliau menggali lubang kecil untuk tempat persemayaman jasad suci Ali Asghar.

Dengan penuh kesedihan, Imam Husein menghampiri perkemahannya untuk mengucapkan kalimat perpisahan terakhir, terutama dengan saudarinya Zainab. Inna Lillahi wa inna ilahi rajiun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar