Sabtu, 03 Desember 2011

JEJAK-JEJAK PAHLAWAN KARBALA

Qasim bin Hasan

Satu dari keistimewaan para sahabat Imam Husein as adalah kecintaan luar biasa mereka kepada beliau. Mereka punya keyakinan kuat akan kebenaran Imam Husein as dan jalan yang ditempuhnya. Mereka bak laron yang terbang berputar-putar mengelilingi lilin keberadaan Imam Husein as. Segala kecintaan ini ditunjukkan mereka hingga menjadi sebuah semangat dan loyalitas luar biasa kepada Imam Husein as. Bahkan boleh dikata, kecintaan mereka kepada Imam Husein as telah melampaui batas cinta biasa.
 
Oleh karenanya, mereka siap mengorbankan jiwa dan hartanya untuk membantu dan menolong Imam Husein as. Bahkan ketika Imam Husein as memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih kembali ke rumah dan kotanya, tapi mereka menolak meninggalkan beliau seorang diri. Padahal mereka tahu bahwa akhir dari sikap yang mereka pilih ini adalah syahadah. Mereka tidak bersedia berpisah dari Imam Husein, sekalipun nyawa taruhannya. Sebaliknya, Imam Husein as juga mengetahui bahwa jalan yang ditempuhnya penuh dengan masalah. Untuk itu, beliau memutuskan untuk mempersiapkan semangat dan jiwa mereka guna dapat melewati jalan terjal ini.

Kecintaan para sahabat Imam Husein dapat ditelusuri dari ungkapan-ungkapan mereka di malam Asyura. Mereka betul-betul menampakkan puncak kecintaannya kepada Imam Husein as dan semua itu dibuktikan pada hari Asyura. Pada malam Asyura, Zuhair bin Qain kepada Imam Husein as berkata, "Bila saya meninggal dan kemudian dihidupkan kembali lalu meninggal lagi dan ini berlanjut terus hingga seribu kalipun saya tidak akan meninggalkanmu sendiri." Setelah itu para sahabat beliau berkata, "Demi Allah, kami tidak akan berpisah denganmu. Jiwa kami menjadi tebusanmu, kami hanya merasa telah memenuhi janji ketika telah meninggal."
 
Tak syak, ungkapan-ungkapan semacam ini hanya akan muncul dari hati mereka yang telah dipenuhi rasa cinta luar biasa. Para sahabat Imam Husein as selalu memikirkan dan mengkhawatirkan keadaan Imamnya, padahal mereka sendiri berada dalam kondisi yang sangat sulit, bahkan di detik-detik terakhir kehidupannya. Sebagian dari mereka bahkan menjadikan dirinya tameng dari anak-anak panah yang melesat menarget Imam Husein as. Mereka benar-benar membuktikan janjinya untuk tidak membiarkan anak panah atau senjata tajam apa saja menyentuh tubuh beliau, selama mereka masih hidup. Sekaitan dengan ini, Thabari, sejarawan besar Islam menulis, "Ketika para sahabat Imam Husein as melihat musuh semakin banyak mengepung, mereka berlomba-lomba untuk melindungi jiwa Imam Husein as.
 
Meneliti lebih jauh, kecintaan para sahabat Imam Husein as kepada beliau ternyata tidak hanya sebatas perasaan belaka. Karena kecintaan ini punya akar dalam logika ilahi. Para sahabat loyal Imam Husein as melihat ucapan dan perilaku beliau bak cahaya dalam kegelapan. Oleh karenanya, mereka melihat beliau sebagai pembawa obor kebenaran. Ketika sebagian tokoh terkenal Islam masih meragukan langkah yang diambil oleh Imam Husein as, para pecintanya telah melangkah lebih jauh. Mereka sudah siap mengorbankan dirinya di jalan kebenaran agar nilai-nilai dan keutamaan ilahi tetap langgeng.
 
Ketika menggambarkan dan memuji para sahabatnya, Imam Husein as berkata, "Aku belum pernah melihat sahabat yang lebih baik dan loyal dari kalian serta keluarga yang lebih baik dari keluargaku. Semoga Allah membalas kebaikan kalian." Para sahabat Imam Husein as tidak pernah meninggalkan medan pertempuran untuk membela kebenaran. Mereka bahkan mendemonstrasikan puncak keindahan dari sifat kekesatriaan. Kali ini kita akan mencermati lebih jauh kehadiran seorang pemuda di Karbala yang ikut membela cita-cita perjuangan Imam Husein as. Ia boleh berbangga, karena menyertai Imam Husein as semenjak dari Madinah. Ia tidak lain Qasim bin Hasan bin Ali, keponakannya sendiri.
 
Pada waktu itu, Qasim baru berusia 14 tahun. Qasim sangat mencintai pamannya, Husein. Ayahnya, Imam Hasan as dalam wasiatnya kepada Imam Husein as menekankan agar mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sepeninggal dirinya. Imam Husein as mendidik Qasim, keponakannya sama seperti memperlakukan anaknya sendiri. Hal itu dilakukannya agar Qasim tidak merasa sedih kehilangan ayahnya. Dengan demikian, Qasim merasakan kehidupan paling indah bersama pamannya. Ia mewarisi kebaikan ayahnya dan mempelajari sifat-sifat mulia dari pamannya.
 
Suatu hari pamannya berkata, "Wahai Qasim! Bersiaplah untuk berhijrah. Karena Madinah sudah tidak lagi aman buat kita." Ucapan pamannya masih menyisakan pertanyaan dan keanehan di hatinya. Ia memutuskan untuk tidak berpisah dari pamannya. Ketika telah tiba waktu untuk berangkat, Qasim ikut dalam rombongan dan tidak pernah jauh dari pamannya. Karena itu Qasim dapat menyimak seluruh ucapan dan pencerahan yang disampaikan pamannya.
 
Suatu waktu Imam Husein as berkata, "Wahai umat Islam! Hendaknya kalian bersikap waspada. Karena Bani Umayyah adalah pengikut setan. Mereka telah meninggalkan aturan ilahi, menghalalkan yang haram dan sebaliknya, mengharamkan yang halal. Saya lebih layak dari siapapun saat ini untuk melakukan perubahan. Bila saat ini kalian melanggar janji, buat saya hal ini bukan hal yang aneh. Karena sebelum ini kalian telah melakukan hal yang sama kepada ayah dan saudaraku." Mendengar ucapan pamannya, Qasim semakin memahami betapa tertindasnya pamannya Husein. Di dalam hatinya Qasim berkata, "Ya Allah, mengapa suara anak Nabi tidak menggetarkan hati mereka?"
 
Malam Asyura tiba. Para sahabat bak laron berkumpul mengelilingi Imam Husein as. Malam Asyura dimanfaatkan oleh Imam untuk melakukan munajat kepada Allah dan memberikan kesempatan kepada para sahabatnya memilih jalan yang harus ditempuh. Karena jalan syahadah harus dilalui dengan berpikir yang matang. Imam Husein as secara transparan mengatakan bahwa siapa saja yang ingin pergi meninggalkannya, maka malam ini adalah kesempatan terbaik. Karena bila seseorang belum melakukan hijrah dari dalam dirinya, dapat menjadikan malam itu sebagai alasan untuk pergi. Imam kembali mengulangi bahwa besok adalah hari syahadah.
 
Ucapan Imam Husein as sangat mempengaruhi pikiran Qasim. Apakah keesokan hari adalah hari syahadah? Sebuah pertanyaan yang mengganggu Qasim putra Imam Hasan as. Ia lalu memandang wajah pamannya Husein as. Pada saat yang sama Imam juga memandangnya. Pada saat itu Qasim menanyakan pertanyaan yang mengganggu pikirannya. "Wahai paman, apakah aku akan terbunuh? Seketika wajah Imam Husein terlihat sedih. Beliau kemudian memperhatikan tubuh tegap dan indah Qasim dan bertanya, "Wahai anakku, seperti apa kematian dalam pandanganmu?"
 
Qasim spontan menjawab, "Kematian dan syahadah bagiku lebih manis dari madu. Bila engkau mengatakan kepadaku bahwa aku menjadi salah satu syahid esok hari, berarti engkau telah memberikan kabar gembira buatku. Mendengar berita ini membuat seluruh tubuhku menjadi segar dan berenergi." Imam Husein as berkata kepada Qasim, "Besok semua akan meraih cawan syahadah dan engkau satu dari para syuhada." Mendengar ucapan pamannya, Qasim merasakan kenikmatan luar biasa.
 
Hari Asyura tiba. Mentari telah naik dan memancarkan panasnya. Qasim tampak tidak sabar ingin menuju medan perang. Anak-anak dan perempuan maju ke depan untuk mengucapkan selamat berpisah dengan Qasim. Setelah itu Qasim mendekati Imam Husein as untuk meminta izin pergi ke medan perang. Imam mengembangkan kedua tangannya memeluk Qasim. Keduanya menangis. Imam berkata, "Keponakanku, tetaplah di sini dan sembuhkan luka yang ada pada hatiku." Qasim menjawab, "Paman, bagaimana aku tidak pergi dan menyaksikan engkau sendiri tanpa penolong. Aku melihatmu tanpa pendamping."
 
Akhirnya Qasim mendapat izin dari pamannya. Dengan sigap ia naik ke punggung kuda sambil berteriak, "Bila kalian tidak mengenalku, ketahuilah bahwa aku anak Hasan al-Mujtaba, cucu Rasulullah Saw." Hamid bin Muslim, perawi pasukan Umar bin Saad berkata, "Tiba-tiba saya melihat seorang remaja yang menunggang kuda. Kepalanya tidak memakai topi perang, tapi hanya mengenakan sorban. Ia juga tidak memakai sepatu perang. Remaja itu terlihat begitu tampan, sehingga terlihat seperti bulan yang tengah menuju kami.
 
Dalam riwayat disebutkan bahwa Qasim berhasil menewaskan beberapa orang dengan tebasan pedangnya. Ketika matanya menatap Umar bin Saad, segera Qasim berteriak lantang, "Wahai Umar, apakah engkau tidak takut kepada Allah? Apakah engkau tidak pernah memikirkan keadilan Tuhan? Apakah engkau akan menerjang apa yang dilarang Nabi? Engkau mengaku muslim tapi pada saat yang sama membiarkan anak Nabi kehausan."
 
Umar bin Saad kemudian memerintah pasukannya untuk mengepung Qasim. Acungan pedang musuh semakin menyempitkan ruang gerak Qasim. Tiba-tiba sebuah ayunan pedang menghantam kepalanya, sebuah panah melesak ke dalam punggungnya dan sebuah tombak menusuk pundaknya. Imam Husein as mendengar suara teriakan dari medan pertempuran, "Paman lihatlah aku." Imam Husein as dengan cepat menuju tubuh Qasim. Sesampainya di sisi tubuh Qasim, beliau langsung memeluk tubuh yang menjadi kenangan dari saudara tercintanya. Dengan sangat hati-hati Imam membersihkan darah yang menutupi wajah Qasim.
 
Imam Husein as kemudian mengecup dahi Qasim. Beliau tidak kuasa menahan tangisnya melihat kondisi keponakannya. Musuh yang menyaksikan pemandangan ini juga ikut terharu dan tidak mampu menyaksikannya lebih lama. Imam Husein as menangis dan berkata, "Demi Allah, sangat sulit bagi pamanmu melihat kenyataan ia tidak mampu menolong orang yang telah membantunya." Qasim bin Hasan al-Mujtaba akhirnya bergabung dengan para syuhada Karbala lainnya. Imam Husein as kemudian bermunajat dengan Tuhannya, "Ya Allah, hancurkan para musuh ini. Bantai mereka satu persatu dan jangan biarkan satupun dari mereka hidup. Putuskan rahmat-Mu dari mereka."
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar